Jihad Memperjuangkan Penerapan Syari’at Islam:

Pandangan Tokoh-tokoh Pesantren di Jawa Barat

Oleh: Ahmad Fuad Fanani

Meski bukan merupakan ide baru, tuntutan penerapan syari’at Islam secara formal masih tetap menjadi agenda penting banyak organisasi dan tokoh Muslim. Terlebih lagi di Indonesia dewasa ini yang tengah dilanda krisis. Penegakan syari’at Islam menjadi satu tawaran alternatif dalam rangka menyelesaikan berbagai persoalan di Indonesia. Poster, spanduk, dan selebaran yang berbunyi “Selamatkan Indonesia dengan Syari’at Islam!, Syari’at Islam adalah solusi final! Tegakkan Syari’ah dan Khilafah Islamiyah!”, adalah pemandangan yang mudah ditemukan di berbagai tempat di hampir semua penjuru daerah.

Pasca reformasi 1998, usaha penegakan syari’at Islam tidak hanya dilakukan melulu melalui wacana dan aksi lapangan, tapi juga melalui jalur konstitusi. Gagasan untuk menggunakan Piagam Madinah oleh PKS (Partai Keadilan Sejahtera) adalah satu bukti penting dalam hal ini. Ia bisa dilihat sebagai satu upaya politk untuk menghupkan kembali Piagam Jakarta, di mana penegakkan syari’ah Islam dijamin konstitusi. Lebih dari itu, aspirasi yang sama juga berlangsung di tingkat lokal. Isu syari’ah Islam berkembang kuat di sejumlah wilayahb di Indonesia, Nanggroe Aceh Darussalam (NAD), Cianjur di Jawa Barat, dan Bulukumba di Sulawesi Selatan. Maka, tidak heran, jika banyak para politisi dan agamawan yang berjuang keras dan terus mengampanyekan penegakan syari’at Islam, terlepas motif dan kepentingan yang mendasari mereka.

Bab ini membahas isu syari’at Islam dalam kaitannya dengan isu pluralisme dan multikulturalisme di lingkungan pesantren di Indonesia. Dengan demikian, isu syari’ah di sini dilihat sebagai satu kategori penting untuk melihat derajat dan corak sikap dan pemahaman kalangan pesantren terhadap pluralisme. Namun, penjelasan umum tentang syari’ah penting diberikan terlebih dahulu. Dan itu pula yang menjadi fokus bagian berikut ini.

Syari’ah: Suatu Penjelasan Umum

Syari’ah berasal dari kata syari’a, berarti mengambil jalan yang memberikan akses pada sumber. Istilah syari’ah juga berarti jalan hidup atau cara hidup. Akar kata syari’ah dan turunannya dalam pengertian yang umum digunakan hanya dalam lima ayat al-Qur’an (QS. 5:48, 7:163, 42:13, 42:31, dan 45:18). Secara umum, syari’ah berarti “cara hidup Islam yang ditetapkan berdasarkan wahyu Ilahi”. Jadi, ia tidak hanya mencakup persoalan-persoalan legal dan jurisprudensial, tapi juga praktik-praktik ibadah ritual, teologi, etik dan juga kesehatan personal dan tatakrama yang baik.

Menurut Fazlur Rahman, syari’ah adalah nilai-nilai agama yang diungkapkan secara fungsional dan dalam makna kongkret dalam kehidupan yang bertujuan untuk mengarahkan hidup manusia dalam kebaikan. Oleh karena itu, sumber syari’ah adalah Al-Qur’an, Hadits, ilmu fiqh, kalam dan berbagai ijtihad manusia. Maka, syari’ah tidak hanya bisa dipahami sebagai aturan berdimensi tunggal, tetapi ia lebih merupakan pesan keagamaan yang senantiasa berkembang dan membutuhkan inovasi terus-menerus.

Lain halnya dengan Abu A’la Al-Maududi. Ia berpandangan berbeda dari Rahman. Menurut Maududi, syari’ah adalah hukum Tuhan yang mempunyai tujuan untuk menunjukkan jalan paling baik bagi manusia dan memberinya cara serta sarana untuk memenuhi kebutuhannya sebaik mungkin, tentu saja yang bermanfaat bagi dirinya. Karena syari’ah adalah anugerah Tuhan, yang dijadikan tuntutan kehidupan manusia, maka manusia harus bertugas mewujudkannya dan menerima hak itu secara maksimal. Dalam hal ini, manusia tidak diperkenankan melakukan modifikasi, sebab hukum Allah itu senantiasa unggul daripada ilmu pengetahuan manusia.

Secara normatif, syari’ah merupakan hukum Tuhan yang dengan prinsip-prinsipnya mengatur semua aspek hubungan antar manusia, dari ekonomi sampai politik, serta dari kehidupan batin sampai pertalian suami dan istri. Hukum Tuhan ini juga disertai prinsip adanya keyakinan akan Tuhan yang hadir di mana-mana dan Dia juga mengetahui apa yang tidak diketahui manusia. Dalam hal ini, syari’ah adalah jalan menuju sumber kehidupan selama dua puluh empat jam agar manusia senantiasa dekat dan dilindungi penciptanya.

Hingga dewasa ini, terdapat dua corak pemahaman terhadap syari’ah yang berkembang di kalangan Muslim, konservatif dan moderat. Corak pertama memahami syari’ah sebagai doktrin agama yang berlaku sepanjang masa, sehingga tidak terdapat ruang untuk memodifikasi. Syari’ah adalah aturan hukum yang tertuang dalam teks-teks al-Qur’an yang tidak lagi membutuhkan penafsiran ulang berdasarkan tingkat peradaban ilmu pengetahuan manusia. Bagi kalangan konservatif ini, kemunduran dan persoalan manusia sekarang ini terjadi karena mereka mengabaikan dan berpaling dari syari’ah. Oleh karena itu, untuk menciptakan kehidupan yang bermakna, harus dilakukan penegakkan syari’ah Islam dalam setiap aspek kehidupan secara formal.

Kedua, corak moderate, menafsirkan syari’ah sebagai produk pemahaman manusia terhadap sumber-sumber ajaran Islam dalam konteks sejarah yang terus berkembang. Dalam hal ini, pemahaman syari’ah tidak bersifat final, dan karenanya tidak mengakui kebenaran tunggal dalam Islam. Syari’ah senantiasa diformulasikan dan direformasi dengan tujuan agar Islam sesuai dengan perkembangan waktu dan ruang (sh?lih li kulli zam?n wa al-mak?n).

Kelompok moderat berargumen bahwa Nabi Muhammad biasa berdebat dan berbeda pendapat dengan sahabat-sahabatnya dalam menentukan aturan kehidupan. Hal ini bisa dilihat dari hadits dan al-Qur’an yang menjelaskan diterimanya pendapat sahabat oleh Nabi, begitu juga sebaliknya. Jadi, bila masa sekarang ada pendapat bahwa syari’ah sudah final dan tidak bisa ditafsir ulang, menurut mereka hal ini justeru tidak sesuai dengan pesan Nabi. Mohammed Arkoun adalah salah seorang yang berpendapat demikian. Menurutnya, karya ulama’ terdahulu yang menjadikan Islam dan penafsiran syari’ah monolitik harus didekonstruksi dengan memunculkan model pembacaan keagamaan baru.

Kalangan moderat juga tidak setuju dengan pemberlakuan syari’ah secara formal, karena hal itu justeru akan mereduksi makna syari’ah. Menurut mereka, visi syari’ah adalah berlakunya moralitas dan tertibnya penegakkan hukum. Oleh karena itu, formalisasi syari’ah menjadi konstitusi negara Islam tapi tanpa moralitas dan penegakan hukum sama artinya dengan politisasi syari’ah demi kepentingan negara atau golongan tertentu.

Maka, untuk mewujudkan visi syari’ah, perlu dibedakan antara syari’ah pada level normatif dan syari’ah yang bersifat historis. Syari’ah normatif adalah aturan keagamaan yang sudah baku, seperti shalat, zakat, puasa, percaya kepada hari akhir, dan iman kepada Allah dan Nabi. Dalam Syari’ah normative ini juga terkandung nilai-nilai perennial Islam seperti keadilan, persamaan, dan kejujuran. Sementara sifat historisitas syari’ah dapat dijumpai pada aturan sosial kemasyarakatan, politik, ekonomi, dan sebagainya. Bila yang pertama merupakan ketentuan baku, maka yang kedua membutuhkan ijtihad dengan mendayagunakan kreativitas akal, perkembangan ilmu pengetahuan, dan situasi zaman.

Menurut kalangan moderat, memberlakukan kedua aspek syari’ah di atas adalah keniscayaan yang memungkinkan untuk zaman sekarang. Sebab, kedua aspek tersebut memiliki kedudukan sama penting dalam menjelaskan aktivitas keagamaan. Jadi, bagi kalangan moderat, kemunduran Islam disebabkan oleh terkungkungnya kreativitas dan pemikiran umat Islam pada doktrin masa lalu, yang memiliki persoalan berbeda dengan masa kini. Padahal, munculnya banyak karya tafsir, fiqh, kalam, dan filsafat pada masa lalu justeru dikarenakan adanya pemupukan perkembangan keragaman interpretasi terhadap teks agama.

Syari’at sebagai Aturan hidup

Sebagian Muslim Indonesia meyakini bahwa syari’at adalah tuntunan hidup yang bersifat baku dan abadi. Oleh karena itu, jika kita ingin memperoleh jalan keselamatan, haruslah mematuhi tuntunan syari’at Islam yang termaktub dalam Al-Qur’an dan Hadist. Dalam pemahaman seperti ini, menegakkan syari’at Islam dalam semua lini kehidupan adalah kewajiban yang tidak bisa ditawar lagi. Dan mereka yang menentangnya dengan sendirinya mengingkari ajaran Islam.

Demikinlah pendapat sebagian Muslim yang berhasil dihimpun penelitian ini. Cucu Cahyana, seorang santri senior Pesantren Darussalam Ciamis, Jawa Barat, adalah salah satunya. Dia berpendapat bahwa syari’at adalah jalan hidup yang sudah dipraktikkan dan ditetapkan Nabi Muhammad. Maka, untuk memahami syari’at kita harus mencontoh Nabi Muhammad. Dan itula yang harus kita ikuti bahkan untuk saat ini. Senada dengan itu, Lis Savitri, juga seotang santri di Pesantren Darussalam, menyatakan bahwa dakwah Nabi Muhammad adalah membumikan syari’at Islam, mulai dari mengajarkan keesaan Allah dan selanjutnya melakukan penerapan hukum-hukum Islam seperti di Aceh sekarang ini. Jika Nabi telah mencontohkan hal seperti itu, maka yang menolaknya tentu sangat diragukan keislamannya. Dalam bahasa yang lebih tegas lagi, dia berujar “wajib atuh, yang menolak mah kufur. Itu bukan harga tawar-menawar”.

Begitu pula pendapat serupa dikemukakan Mufti, seorang santri senior pada Pesantren Baiturrahman, Bandung. Dia berpendapat bahwa setiap Muslim seyogyanya menegakkan ajaran Islam di semua lini kehidupan, sehingga menjadi orang Islam yang kaffah (sempurna). Praktik keislaman tidak hanya terbatas pada rukun Islam yang lima (syahadat, shalat, puasa, zakat, dan haji). Ia hendaknya meliputi semua aspek kehidupan. Dan kondisi ini pula yang menjadi keprihatinannya. Banyak orang tidak berekonomi secara Islam, juga dalam berpolitik, padahal Islam menyangkut semua urusan kehidupan. Lebih jelas, dia berujar:

Islam itu adalah satu tatanan atau undang-undang yang mengatur manusia sejak kita dari lahir sampai meninggal, dari bangun tidur sampai tidur lagi, dari urusan politik, ekonomi, sosial, budaya, itu Islam mengatur. Jadi kalau misalkan kita mengambil sebagian terus menolak sebagian itu juga saya rasa belum kaffah istilahnya.”

Dalam kaitan ini, Muhsin Noor, pengasuh Pesantren Al-Muslimun, Cianjur, memberi rumusan lebih rinci bagaimana syari’at tamnpil sebagai aturan hidup umat Muslim. Dia mengidentifikasi sembilan (9) acuan hidup untuk dijadikan pedoman dan jalan agar tidak terjerumus pada jalan yang salah, yakni (1) aturan hidup manusia adalah dinul Islam (agama Islam); (2) bekal hidup manusia adalah taqwa kepada Allah; (3) modal hidup manusia adalah ilmu pengetahuan agama; (4) pedoman hidup manusia adalah al-Qur’an dan Sunaah; (5) pelita hidup manusia adalah iman yang kuat; (6) hiasan hidup manusia adalah akhlak yang baik; (7) teman hidup manusia adalah amal; (8) tugas hidup manusia adalah beribadah kepada Allah; dan (9) tujuan hidup manusia adalah bahagia dunia dan akhirat. Dalam kerangka semua itu, setiap Muslim wajib menegakkan syari’at Islam sesuai al-Qur’an dan Sunah. Menurutnya, “kalau ingin hidup bahagia tentunya kita harus melaksanakan apa yang diperintahkan Allah dalam al-qur’an, bukan sebagiannya tapi semuanya”.

Formalisasi Syari’at Islam Melalui Hukum

Berangkat pemahaman syari’at di atas, maka usaha penegakannya meliputi tidak hanya pada aspek keagamaan dan bersifat individual, tapi juga sejumlah aturan menyangkut kehiduapan sosial-politik dan bahkan kenegaraan. Syarif Hidayat dari Pesantren Al-Hasan, Ciamis, mengatakan bahwa syari’at Islam, sekecil apapun, harus tetap ditegakkan dengan kekuatan yang memungkinkan (bi qadr al-imkan), meskipun sementara ini tidak menjadi dasar negara. Dan itu bukan berarti Muslim Indonesia berhenti dalam memperjuangkan syari’at (tathbiq al-syar’iah). Ini harus diteruskan oleh para kiai, para ustadz, santri, dan semua umat Islam. Menurutnya, “Tathbiq al-syar’iah itu bukan potong tangan dan rajam saja, itu nomor ke sekian. Penegakan rukun Islam yang lima saja sudah tathbiq al-syar’iah. Begitu juga penegakan dalam bentuk pemberantasan korupsi”.

Pendapat serupa juga dikemukan Habib Nasrullah dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya. Dia berujar seperti berikut ini:

Meskipun contoh pemahaman syari’at Islam dan contoh pelaksanaanya sudah ada sejak zaman Nabi Muhammad, namun di Indonesia sampai saat ini syari’at masih belum bisa ditegakkan. Salah satu penyebabnya, karena dalam Islam sendiri ternyata banyak serigala berbulu domba. Orang-orang Islam yang duduk di atas [parlemen atau pemerintahan], tidak menginginkannya, karena dengan berdirinya syari’at Islam mungkin mereka berpikir akan susah untuk korupsi. Sebab, Islam akan sedetail mungkin mendeteksi kejahatan seperti itu.

Masih menurut Habib Nasrullah, penyebab lainnya adalah kesalahan paham lama yang terus dipelihara, bahwa jika kita menghianati UUD 1945 yang merupakan penyempurnaan dari Piagam Jakarta, sama saja dengan menghianati perjuangan para tokoh Islam tempo dulu. Mestinya, yang dibacakan dan ditandatangi oleh Proklamator kita pada saat Proklamasi 17 Agustus 1945 adalah naskah Piagam Jakarta, bukan proklamasi yang hanya ditandatangi dua orang. Menurut Habib Nasrullah “ itu suatu kebohongan yang umat Islam harus bangkit meluruskannya, terutama bagi para tokoh agama dan santri”.

Ungkapan lebih tegas dikemukakan Abdullah Margani dari Pesantren al-Musaddadiyah, Garut. Dia berpandangan bahwa pranata hukum dan politik negara justru menjadi kekuatan untuk penegakkan syari’at Islam. Seraya membandingkan dengan negara-negara Islam lain di Asia Tenggara, Abdullah Margani berkata:

“Itu tidak ada yang mengurus. Jangan berharap pemerintah yang mengurus, karena kita bukan negara Islam. Kalau seperti di negara ASEAN yang lain, seperti di Brunai, itu jelas Islam ahlussunnah wal jama’ah madzhab Imam Syafi’i. Tapi kita [Indonesia] kan tidak. Kalau orang tidak melakukan shalat, puasa, dan orang yang melakukan zina ditangkap; orang berjudi ditangkap; karena itu semua bertolak belakang dengan syari’at. Mereka dikena hukuman. Malah sekarang ada mahkamah syar’i. ... Kita masih jauh. Pengadilan agama hanya mengurus soal cerai. Mana ada urusan lain diselesaikan di pengadilan agama? ... dianggapnya agama itu hanya mengurus itu saja”.

Pendapat sedikit berbeda dikemukakan Dodo Murthado dari Pesantren Riyad al-Huda, Kuningan. Dia melihat bahwa penerapan syari’at Islam tidak harus selalu dalam bentuk negara Islam. Hal paling krusial untuk diperhatikan adalah membangun prasyarat bagi tegaknya syari’at Islam dalam kehidupan Muslim Indonesia. Dan hanya dengan cara itulah Indonesia bisa makmur, bisa keluar dari krisis berkepanjangan seperti sekarang ini. Oleh karena itu, dia menekankan pentingnya menggalang kekuatan di masyarakat untuk gerakan penegakkan syari’at, termasuk pesantren dan Majlis Ulama Indonesia (MUI).

Dengan demikian, syari’at Islam tidak bisa diterapkan hanya sebatas sebagai kampanye politik dan formalitas, seperti dikemukakan Soleh Makmun dari Pesantren Riyad al-Huda di Kuningan. Menurutnya, penegakan syari’at harus ditindaklanjuti dengan pelaksanaan hukum Islam dalam tatanan kehidupan masyarakat. “Yang saya harapkan orang Islam melaksanakan sebagaimana ketentuan hukum Islam” paparnya tentang hal ini.

Senada dengan pendapat di atas, Syamsuddin dari Pesantren Darul Muttaqin di Cirebon juga mengatakan, syari’at Islam adalah suatu tuntutan yang harus ditegakkan. Hal ini karena kita sebagai orang Islam sudah semestinya punya kewajiban untuk menjadikannya pedoman hidup sehari-hari. Menurutnya “adapun kalau memang orang-orang yang yang sudah terpilih menjadi wakil-wakil rakyat tetap dengan undang-undang yang sama, apa boleh buat. Padahal, kalau memang mereka memiliki pemahaman yang sama dengan kita dan mengetahui pentingnya syari’at Islam bahwa itu sesungguhnya adalah ajaran kembali pada al-Qur’an, Sunnah, dan manhaj (tuntunan) yang benar”.

Pandangan di atas tentu bukan tidak memiliki alasan kuat. Mereka menyadari bahwa formalisasi syari’at Islam tanpa kesiapan SDM tidak akan membuahkan hasil sebagaimana diharapkan. Dalam hal ini, mereka melihat pengalaman Aceh, di mana pelaksanaan syari’at Islam masih belum maksimal. Ustadz Nurkholis dari Pondok Pesantren Hayatan Thoyyibah, Sukabumi, adalah salah seorag yang kritis terhadap penerapan syari’at Islam di Aceh. Menurutnya, penerapan syari’at Islam di Aceh tidak komprehensif, seraya mengacu pada hukum cambuk yang terlihat seperti main-main. Lenih jauh dia melihat bajwa yang komprehensif adalah seperti yang dilakukan Laskar Jihad di Ambon. Ketika mengetahui salah seorang anggotanya berzina, maka hukum rajam (dilempari batu hingga meninggal) langsung diterapkan. “Jika ingin melakukan yang komprehensif, menurutnya memang harus begitu”, demikian dia menegaskan.

Jadi, pemberlakukan syari’at Islam di Aceh belum bisa di terapkan secara menyeluruh, karena semuanya tergantung pada mayoritas Muslim di daerah yang berbeda-beda. Oleh karena itu, menurut Damanhuri dari Pesantren Syamsul Ulum di Sukabumi, kesiapan masyarakat untuk penerapan syari’at perlu menjadi landasan dan pertimbangan utama. Dia berujar, “jadi, pada prinsipnya, kalau mau diterapkan seperti itu SDM-nya harus diberi pengetahuan dulu. Dan di sinilah pentingnya pendidikan untuk memberi pengetahuan Islam secara maksimal, bukan untuk mencari kerja dan mencari uang”. Bila demikian halnya, maka penerapan syari’at Islam mengandaikan kesiapan Muslim. Salah satu isu yang berkembang adalah apa yang mereka sebut sebagai akhlakul karimah atau akhlak mulia, yang seharusnya diparktikkan Muslim dalam rangka penerapan syari’at Islam secara benar. Dan tentang hal itu pula diskusi berikut ini diarahkan.

Akhlakul Karimah untuk Penegakan Syari’at Islam

Muhsin Noor dari Pesantren Al-Muslimun Cianjur bisa disebut salah seorang komunitas pesantren yang secara tegas menekankan pentingnya sosialisasi akhlakul karimah untuk Muslim Indonesia. Menurutnya, pengenalan syari’at Islam adalah dengan pengenalan dan sosialisasi pentingnya Akhlakul Karimah. Ia menjadi salah satu alternatif terbiuk untuk hal itu. Bukan dengan kalan kekerasan, yang belakangan ini berkembang di sebagian Muslim Indonesia.

Dia menambahkan, ajaran yang telah disampaikan dalam al-Qur’an dan Hadist bahwa Muslim hendaklah ke dalam agama Islam secara semuanya (kaffah), dan tidak mengikuti nafsu syaitan. Umat Islam tidak boleh menyakiti non-muslim, karena Islam pada dasarnya adalah rahmat bagi sekalian alam. Maka, bila penerapan syari’at Islam dengan akhlakul karimah, itu tidak akan mengganggu kalangan non-Muslim. Dan hal inlah yang sedianya menjadi agenda Muslim Indonesia.

Senada dengan itu, Abdullah Margani dari Pesantren al-Musaddadiyah Garut menyatakan, metode penegakan Syari’at Islam harus dimulai dari sosialisasi akhlak yang baik. Selain itu, strategi penegakan lewat jalur atas dan bawah harus dilakukan secara bersama-sama. Maksudnya, pemimpin harus bisa dijadikan contoh, sedangkan di kalangan bawah seperti di pondok pesantren dan masyarakat sekitar harus memonitori pelaksanaan syari’at Islam. Jangan sampai, kebiasaan sandal yang hilang di masjid, lemari di pesantren di bongkar, baju jemuran hilang, dan hal sepele-sepele lainnya dibiarkan terjadi. Menurutnya, dalam menerapkan syari’at Islam, “kita harus back to basic bagaimana kita bisa berprilaku yang baik, bagaimana performance kita dalam kehidupan berdagang, bermasyarakat, dan bernegara”. Sekarang bagaimana kita tampilkan performance kita, bagaimana berdagang yang jujur sebagaiaman diajarkan rasulullah, dari prosedur-prosedurnya sendiri, dan sebagainya. Yang penting kita mampu memiliki pemimpin yang bisa menjadi tauladan. Tambahnya, “kalau kita punya pemimpin satu orang saja yang bisa menjadi tauladan, insya Allah cukup. Jadi permasalahan yang utama bukanlah isu-isu yang tadi, tapi bagaimana kita menjadikan ada tauladan minimal diri kita. Itu yang harus menjadi isu utama, bagaimana agar supaya Islam beres”.

Begitu pula pandangan serupa dikemukakan seorang responden dari Pesantren Miftahul Huda di Tasikmalaya.. Manururny, untuk menegakkan syari’at Islam harus dimulai dengan individu masing-masing. Terutama yang dari pesantren, mereka harus berjiwa Islami seperti yang dicontohkan Nabi Muhammad. Dan kita harus betu-betul menanamkan rasa cinta terhadap Islam ke masyarakat. “Orang yang sudah mencintai apapun yang kita usulkan akan mereka setujui. Kalau sudah begitu otomatis kita akan mudah untuk menegakkan syari’at Islam”, demikian di berujar. Jadi, jelas bahwa akhlakul karimah sebagaimana dipraktikkan Nabi Muhammad dalam kehidupan sehari-hari adalah jalan paling mudah untuk menegakkan syari’at Islam.

Di samping akhlakul karimah, H. Iqbal Santoso dari Pesantren Persis Garut menambahkan satu poin lain, yakni pendidikan. Hal ini antara lain didorong oleh pengalamannya—saat hendak merekrut lulusan madrasah dan pesatren untuk bekerja di Bank Syari’ah—bahwa SDM Muslim masih lemah. Jadi, ketika mereka ingin menegakkan Syari’at Islam, tetapi masih banyak dari mereka yang tidak mengetahui sistem politik Islam, perekonomian Islam, dan peradilan Islam, maka itu bisa menjadi boomerang bagi umat Islam sendiri. Maka, salah satu hal yang harus dlakukan dalam rangka penegakkan Syari’at Islam adalah mempersiapkan sumber daya masyarakat Muslim terlebih dahulu. Dia menegaskan “Jika masyarakat Muslim telah tercipta dan kokoh, maka syari’at Islam dapat ditegakkan dengan mudah. Pada zaman dahulu, Nabi lebih mengutamakan menciptakan masyarakat Muslim, baru setelah itu beliau menegakkan syari’at Islam”.

Posisi Non-Muslim dalam Penegakan Syari’at Islam

Isu akhlakuk karimah dalam penegakkan syari’ah Islam tentu bukan tanpa alasan sosiologis yang kuat. Dalam sebuah negara yang terdiri dari berbagai suku, ras, dan agama seperti Indonesia, penegakan sebuah aturan agama tertentu sebagai dasar resmi untuk menjalankan kebijakan politik, hukum, dan sosial sehari-hari, tidak bisa langsung diterima begitu saja. Bahkan, hal itu berlawanan dengan prinsip demokrasi yang menjamin persamaan hukum dan hak bagi semua warga negara.

Kekhawatiran terbesar yang dirasakan oleh umat agama lain di Indonesia pada penegakan syari’at Islam secara formal sebagian timbul dari pertanyaan besar tentang bagaimana nasib dan posisi mereka (non-Muslims)? Apakah dengan penegakan syari’at Islam mereka menjadi warga negara kelas dua yang tidak lagi bebas mengekspresikan keyakinannya dan dijamin hak-haknya? Apakah mereka nanti juga akan dipaksa untuk mengikuti tata cara hidup Islami? Dan sejauh mana eksistensi hidup mereka dengan aturan yang baru itu? Dan, memang, hal itu pula yang menjadi salah satu perhatian kalangan pesantren.

Demikianlah, Siti Asadiyah—seorang guru senior pada Pesantren Darussalam Ciamis—misalnya, bependapat bahwa non Muslim tidak perlu khawatir dengan penegakan syari’at Islam secara formal sebagai undang-undang negara. Karena, mereka pasti akan dilindungi eksistensi dan keberadaannya. “Ya pasti dilindungi. Ini kan sudah ada sejarahnya, sejak zaman Rasul sampai sahabat. Ketika itu Muslim yang nomor satu dan non-Muslim takluk, dan mereka itu memberikan upeti kepada umat Islam” ujarnya. Bila kita lihat pernyataan itu, secara tersurat jelas bahwa umat non-Muslim akan dilindungi, namun dengan syarat mereka memberikan upeti kepada umat Islam. Dari pernyataan itu, secara tidak langsung juga ditegaskan bahwa posisi umat non-Muslim sebagai warga negara kelas dua adalah hal yang sangat mungkin dan wajar dalam penegakan syari’at Islam.

Mengamini pendapat di atas, Asep Suja’i Farid dari Pesantren Cintawana, Tasikmalaya menyatakan bahwa justru dengan syari’at Islam umat non-Muslim akan lebih terlindungi. Hal itu sudah dicontohkan Rasulullah ketika di Madinah. Saat itu, menurutnya, umat non-Muslim lebih terjamin untuk melakukan perdagangan, praktik keagamaan, kegiatan sosial-politik, serta urusan kehidupan lainnya. Ketakutan umat non-Muslim di Indonesia, menurutnya, dikarenakan sikap yang apriori terlebih dahulu tanpa melihat sejarah Nabi. Hal itu ditambah lagi oleh sikap sebagian tokoh umat Islam sendiri yang tidak berusaha memperjuangkan Piagam Jakarta secara sungguh-sungguh. “Kalau melihat pengalaman itu, mereka malah bisa lebih terlindungi, karena ada contoh yang Rasulullah telah laksanakan di Madinah. Lebih terjamin lah. Kalau ada Piagam Jakarta, insya allah syari’at Islam kin sudah berjalan di seluruh indonesia. Minimal Jawa dan Sumatera. Karena yang bagian timur kan mayoritas waktu itu orang kafir” paparnya tentang masalah ini.

Soal kemungkinan terjadinya pengkelasan kewarganegaraan juga dinyatakan M. Mufti dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Dia berpendapat, kalau dilihat dari sudut pandang teori negara, kemungkinan itu sangat ada. Sebab, ketika suatu negara dibangun berdasarkan hukum agama tertentu, tentu warga negara yang menganut agama yang sama dengan negara yang akan lebih terjamin hak-haknya, begitu juga sebaliknya. Bahkan, seharusnya aturan itu juga bisa diterapkan ke umat agama lain yang tinggal di negara itu.

Namun, lain halnya dengan pendapat Latif Awaluddin dari pesantren Persis Pajagalan, Bandung. Dia menyatakan bahwa aturan hukum dan kehidupan sehari-hari dalam penerapan syari’at Islam tidak diwajibkan bagi umat non-Muslim. Meski umat Islam diwajibkan menutup aurat, untuk warga non-Muslim tidak harus, bahkan dia tidak harus shalat. Dan pendapat yang sama juga dikemukan Ustadz Syamsuddin dari Pesantren Darul Muttaqin, Cirebon. Menurutnya, dalam konteks Indonesia yang terdiri dari berbagai macam suku, ras, dan agama, pemaksaan penerapan syari’at Islam kepada non-Muslim tidak bisa dibenarkan. “Islam ini bukan suatu paksaan, kita tidak bisa memaksakan Islam kepada orang-orang yang memang belum ada petunjuk dari Allah. Artinya kita mau mendakwahi kayak apapun dan memaksakan, malah kita nanti dipermasalahkan. Jadi barang siapa yang sudah mengerti dan memahami marilah kita sama-sama jalan, kalau itu belum ya masing-masing saja” katanya memberikan argumen soal larangan pemaksaan itu. Dengan demikian, meski orang-orang Kristen, Budha, dan agama lainnya itu sebagai orang kafir umat Islam tidak dibenarkanb memerangi mereka. Lebih jauh, Ustadz Syamsuddin berkata:

Hari ini kitab mereka (orang Kristen dan sebagainya) kan bikinan baru. Dan kita memahami Nabi yang terahir kita Nabi Muhammad, berarti Islam itu yang dibawa dan mestinya semua manusia kembalinya pada Islam dan bukan pada agama lainnya. Kita anggap mereka ini tidak menuhankan pada Allah, berarti orang kafir. Tetapi apakah kita harus memerangi mereka? Tidak. Kita ini Islam, damai, tapi diarahkan ke Islam dan tanpa paksaan dan kita tidak sepakat dengan kekerasan. Bahkan, kita ajarkan kepada anak-anak bahwa Islam ini bukan kekerasan tapi kita damai, baik, santun kepada siapa saja kepada semua orang yang tinggal disekitar kita”.

Lain lagi dengan Mastuhi Abdul Ghafur dari Pesantren Baiturrahman, Bandung. Menurutnya, kalau syari’at Islam sudah ditegakkan dan ditetapkan secara formal sebagai undang-undang daerah seperti di Aceh, maka non-Muslim harus mengikuti aturan itu. Hanya saja, untuk daerah lain perlu diuji coba sejauhmana penerimaan masyarakat terhadap syari’at Islam secara formal dalam undang-undang. Jika di daerah yang penduduknya mayoritas beragama Islam, maka mau tidak mau masyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi. Namun, untuk konteks keseluruhan negara Indonesia, dikhawatirkan penerapan aturan ke non-Muslim akan menyebabkan perang agama. Lebih tegasnya dia berujar:

“Kalau itu sudah masuk dalam undang-undang daerah artinya sudah diberlakukan seperti itu. Kalau daerah lain ya silahkan saja. Pokoknya kalau awalnya diletakkan ini seperti itu akan kokoh. Tapi kalau undang-undang resminya sudah berjalan begini bisa perang agama, dunia akan bertindak bahkan akan digencet Indonesia kalau non muslim dipaksa ikut aturan muslim. Maksudnya di Indonesia dipusat, kalau didaerah awalnya begitu karena mayoritas muslim maka mereka mau tidak mau mereka msyarakatnya mengatakan bisa saja terjadi”.

Meski demikian, dia menambahkan, jika suatu saat nanti Indonesia berhasil menerapkan syari’at Islam dalam undang-undang dan sudah ditetapkan, maka seluruh warganya—Muslim dan non-Muslim—wajib mengikutinya. Seperti di Malaysia dan Arab Saudi yang sudah memberlakukan hukum Islam, warga non-Muslim mau tidak mau memang mengikutinya. Menurutnya, kesalahan negara Indonesia adalah kenapa dahulu saat kemerdekaan syari’at Islam tidak diberlakukan dan ditetapkan sebagai aturan negara. Jika pada masa itu berhasil, aturan itu pasti akan diterima tidak hanya oleh warga Muslim saja tapi juga oleh semua warga negara lainnya.

Pendapat serupa dikemukakan Asep Ahmad Mausul Affandi dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya. Menurutnya, kita tidak bisa mengubah keyakinan orang, karena sebagi pengikut Nabi terakhir sudah semestinya mengikuti Nabi yang tidak suka memaksakan kehendak pada orang lain. Dia mencontohkan, meski Abu Thalib tiap hari bergaul dan hidup dengan Nabi Muhammad yang dibimbing dengan wahyu dan dibekali dengan mukjizat, sampai akhir hidupnya ia tetap kafir. Menurutnya, itu adalah fakta sejarah yang harus diterima. Meski demikian, dia percaya bahwa syari’at Islam sebetulnya bisa ditegakkan sebagai aturan di negeri ini, termasuk untuk warga non-Muslim.

Demikianlah, bila melihat berbagai pendapat di atas, sangat wajar jika banyak non-Muslim khawatir akan posisi mereka jika syari’at Islam diterapkan. Menurut Saiful Mujani, sejauh aspirasi politik syari’ah ini terbatas pada kelompok-kelompok di masyarakat, bukan sebagai bagian dari kebijakan publik, maka perbedaan pemahaman itu relatif masih bisa diakomodasi asal tidak bertentangan dengan hukum yang berlaku umum. Namun, jika sudah menjadi menjadi keputusan publik, lewat lembaga-lembaga negara, maka akan mengikat semua warga negara, baik Muslim maupun non- Muslim. Dan kalau ini terjadi, demokrasi sebagai sistem pemerintahan yang berfungsi mewadahi pluralisme primordial, termasuk perbedaan pemahaman tentang syari’ah, mulai terancam eksistensinya.

Antara Syari’at Islam, Negara Islam, dan NKRI

Guna mencari jalan penegakan syari’at Islam yang lebih efektif dan komprehensif, banyak dari kalangan penegak syari’at Islam yang menganggap bahwa pendirian negara Islam menjadi agenda yang mesti dipikirkan dan dilaksanakan. Negara Islam menjadi jaminan paling diandalkan dalam rangka pelaksanaan syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat. Dan isu negara Islam ini memang menjadi satu poin penting yang berkembang di kalangan Muslim Indonesia, khususnya di pesantren yang menjadi sasaran penelitian. Menyangkut isu ini setidaknya terdapat tiga tiga pola pemikiran yang muncul, yakni moderat, fundamentalis, dan mengambang.

Moderat

Pemikiran moderat diungkapkan antara lain oleh Fadhil Yani Ainussyamsi dari Pondok Pesantren Darussalam Ciamis. Dia berpendapat bahwa penegakan syari’at Islam dan negara Islam merupakan harapan semua umat Islam. Jika soal negaranya mau mau berdasarkan Pancasila atau Islam, yang penting syari’at Islam tegak terlebih dahulu. Jadi, masyarakatnya harus dibentuk dahulu berdasarkan nilai-nilai Islam. Keadaan ini secara otomatis mengubah sistem demokrasi menjadi sistem Islam. Dengan demikian, perubahan karakter Muslim tersebut sangat penting, karena ia menjadi satu prasyarat utama bagi dalam menyukseskan penegakan syari’at Islam.

Pendapat Fadhil di atas diamini oleh Abdul Aziz dari Pesantren Darusslama, Ciamis. Seraya mengacu pada sejarah dakwah Rasulullah, dia berpendapat bahwa agenda penegakan syari’at Islam pertama kali bukan dilakukan dengan jalan pendirian negara Islam. Namun, yang jauh lebih penting adalah bagaimana syari’at Islam bisa diterima dan dipahami masyarakat. Dan jalan itu bisa ditempuh dengan menanamkan prinsip keimanan dan ajaran Islam kepada bangsa Indonesia. “Jadi, bukan dengan cara merusak Pancasila atau undang-undang, tapi bagaimana kita menanamkan ajaran Islam kepada bangsa Indonesia. Rasullah menanamkan keimanan itu tidak sebentar. Sebelum ada perintah shalat dan zakat, yang pertama ditanamkan adalah keimanan, keyakinan kepada Allah. Maka untuk sekarang ini kita jangan memerangi pemerintah, tapi menanamkan kepada pemerintah tentang ajaran islam yang benar. Maka undang-undang atau falsafah akan berubah sendiri” katanya menjelaskan . Lebih lanjut dia berpandngan bahwa sekarang ini umat Islam sebagai mayoritas belum menjadi kekuatan. Jika kita berhasil menanamkan ajaran Islam itu, Islam akan menjadi sebuah kekuatan besar yang secara otomatis akan merubah falsafah Pancasila. Dan untuk mencapai hal itu, Muslim harus berusaha keras dan jangan hanya mengandalkan pada beberapa kelompok saja.

Abdullah Margani dari Pesantren Al-Musaddadiyah, Garut, menambahkan, bahwa persoalan umat Islam yang belum banyak memahami tentang pentingnya dan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari bukan terletak pada belum terbentuknya negara Islam atau karena negara Indonesia masih sekuler. Hal itu disebabkan oleh ketidakmampuan Muslim untuk bersatu hingga menghasilkan sebuah kekuatan. Maka, kita hendaknya jangan menyalahkan keadaan dan orang lain. Lebih jelasnya dia berkata sebagai berikut:

“Bukan masalah itu, tapi ketidakmampuan umat Islam untuk bersatu sehingga menghasilkan kekuatan. Jangan menyalahkan orang lain, karena kita sendiri yang salah. Dari mulai ulamanya yang awal sampai kita, kita yang salah. Sehingga tidak bisa menghasilkan kekuatan, suatu musyawarah, sehingga negara ini tidak menjadi negara Islam. Atau minimal menjadi negara yang menjadikan Islam sebagai agama resminya”.

Perlunya menanamkan nilai-nilai Islam guna menegakkan syari’at Islam ini, juga diungkapkan oleh Cucu Cahyana dari Pesantren Darussalam, Ciamis. Dia berujar bahwa penanaman syari’at Islam secara bertahan dan perlahan—mulai dari individu, keluarga, desa, kecamatan, kabupaten lalu ke yang lebih luas—sangat perlu. Jadi, nantinya penggantian Pancasila dan UUD 1945 dengan Islam bisa dijalankan dengan mudah. Ini dalam ramgka menghindari agar jangan sampai ketika negaranya sudah berdasarkan syari’at Isam, orang-orang Islam justru tidak siap menerimanya dan ada sebagian yang tidak berperilaku Islami Dan pendapat serupa juga disuarakan kaum Muslim lain dari pesantren yang diteliti, seperti Iqbal Santoso dari Pesantren Persis Tarogong, Garut, Dodo Murtadho dari Pondok Pesantren Riyadul Huda Kuningan , dan Udi Samahudi, juga dari Pesantren Nurul Huda, Kuningan. Mereka umumnya berpendapat bahwa agenda paling mendesak dan penting untuk dilakukan adalah penanaman syari’at Islam dalam kehidupan masyarakat.

Fundamentalis

Sementara itu pemikiran kedua, di sini disebut bercorak fundamentalis, justru menekankan perlunya mendirikan sebuah negara Islam sebagai jalan untuk menegakkan syari’at. Hal ini dikemukakan antara lain oleh Syarif Hidayat dari Pesantren al-Hasan, Ciamis. Dia berpandangan bahwa idealnya penegakan syari’at Islam dibarengi dengan perubahan hukum dan dasar negara. Sebab, hal ini akan lebih menciptakan kekompakan dan kekuatan di kalangan umat Islam. Dia juga mengkritik bahwa gerakan penegakan syari’at dan negara Islam itu tidak kompak, yang akhirnya menjadikannya sebagai gerakan bawah tanah dan akibatnya hingga sekarang belum membuahkan hasil.

Pendapat tersebut diamini Asep Ahmad Mausul Affandi dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya, yang juga menjadi Wakil Ketua Lajnah Tanfidziah Majelis Mujahidin Indonesia (MMI). Menurutnya, untuk menegakkan syari’at Islam, perlu menciptakan eksekutor atau membikin imamah (kepemimpinan) khusus. Negara ini mau bentuknya apa saja, yang penting Islam punya pemimpin yang bisa ditaati dan dijadikan rujukan. Dia juga berpendapat bahwa konsep syari’at Islam adalah wajib dan bagi yang menolaknya tergolong sebagai orang kafir. Dan dalam rangka menciptakan imamah (kepemimpinan) yang menjamin syari’at Islam terlaksana, kaum Muslim harus merebut kekuasaan agar memiliki kekuatan untuk menegakkan syari’at Islam. Dia berujar:

Jadi umat islam memang tidak berdaya, mereka kalau kita tanya siapa pemimpin islam di Indonesia, saya nggak tanya pemimpin negara islam indonesia, nggak. Negara itu salah satu bagian dari syari’at Islam, bukan syari’at Islam itu identik dengan negara. Salah satu bagian kecil, bukan syari’at Islam bagian dari negara. Jadi negara harus tahu tentang syari’at Islam

Perlunya menciptakan kepemimpinan di atas juga didukung oleh para santri bimbingan Asep Mausul dari Pesantren Miftahul Huda, Tasikmalaya. Yana, seorang santri senior, mengungkapkan bahwa untuk saat ini penegakan syari’at Islam secara komprehensif masih mengalami banyak kendala. Hal itu terutama karena masih banyak kalangan yang belum paham tentang manfaat dan pentingnya ide ini. Terlebih lagi, gagasan itu akan mengalami benturan dengan para pemimpin dan pengambil kebijakan di pemerintah. Oleh karenanya, jumlah orang yang menegakkan syari’at Islam harus terus dikembangkan dan pemimpin yang ada seyogyanya mendukung ide itu. “Berapa persen sih yang menerima syari’at Islam, 2 % (dua persen) pun belum tentu kan. Jadi menegakkan syari’at itu harus dan tidak sebagian-sebagian tapi harus total. Cuma polanya yang harus dibuat sedemikian rupa. Jadi, kalau dengan Pancasila saya kira tidak bisa untuk menegakkan syari’at Islam secara kaffah” ujarnya menegaskan.

Pemahaman bahwa dengan Pancasila kaum Muslim tidak bisa menegakkan syari’at Islam secara menyeluruh jelas mengandaikan pendirian sebuah negara Islam. Jadi, syari’at Islam harus ditindaklanjuti dengan perebutan kekuasaan. Masih menurut Yana, “menegakkan syari’at Islam ya jelas mendirikan negara Islam. Hanya sekarang ini kelihatannya publik yang memutakbalikkan fakta. Demikian halnya dengan Asep Asep Suja’i Farid dari Pesantren Cintawana, Tasikmalay. Dia berpendapat perlunya penegakan syari’at Islam lewat jalur kekuasaan, mulai dari tingkat lokal hingga negara. Beberapa daerah yang sudah mendeklarasikan syari’at Islam, seperti Cianjur, Sukabumi, dan Tasikmalaya, perlu dijadikan pengalaman dan contoh umat Islam yang daerah lain. Pada era otonomi daerah seperti sekarang ini, momentum itu hendaknya dijadikan sebagai strategi untuk mendeklarasikan syari’at Islam di tingkat lokal agar bisa diterima masyarakat, selanjutnya ketika sudah banyak daerah yang melakukan deklarasi, negara Islam lebih gampang ditegakkan. Dia berkata:

“Negara Islam itu bisa belakangan, syari’at Islam dulu disodorkan ke masyarakat, kalau udah diterima barulah. Kalau negara kan scopenya luas, dari Sabang sampai Merauke. Paling juga kita bisanya bertahap. Nah tiap-tiap daerah kan udah ada otonomi, jadi mereka bisa mulai mendeklarasikan syari’at. Ya mudah-mudahan lah nanti bisa benar-benar terlaksana” katanya menjelaskan soal ini.

Mendua (ambivalen)

Corak pemikiran ketiga adalah pendapat yang melihat bahwa penegakan syari’at Islam dengan mendirikan negara Islam menunggu saat yang tepat. Ini antar4a lain diungkapkan oleh Mastuhi Abdul Ghafur dari Pesantren Baiturrahman Jawa Barat. Dia menyatakan bahwa pendirian syari’at Islam lewat negara seperti yang dilakukan di Iran, Pakistan, dan Sudan, mensyaratkan bahwa posisi umat Islam kuat. Dan, sayangnya, kekuatan itu tidak ada di Indonesia. Pencabutan Piagam Jakarta dari dasar negara Indonesia pada awal kemerdekaan dahulu menjadikan cita-cita itu sulit direalisasikan. Padahal, dengan Piagam Jakarta, semua urusan negara menjadi lebih mudah diatur dengan hukum Islam. Jika seperti sekarang ini, syari’at itu hanya menjadi kewajiban individu yang tidak atur oleh negara. Dia berkata:

“Kalau perorangan itu masing-masing haknya. itu haknya pribadi. Kalau hak negara, otomatis negara yang mengatur, seperti Nabi Muhammad yang mengatur semua gerak-gerik, langkah, dan lain sebagainya (masyarakat waktu di Madinah dahulu). Sehingga, hukum itu berjalan ke masyarakat. Pribadi-pribadi berjalan tapi hukum itu tidak berjalan dengan perbuatan ini tidak dihukum kan”.

Namun demikian, model pendirian negara Islam seperti yang dilakukan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan Kartosoewiryo pada 1950-an tampak tidak diterima. Masih menurut Mastuhi Abdul Ghafur, dia menyatakan setuju dengan ide pendirian negara Islam hanya caranya dia tidak bisa menerima caranya yang sering memaksa, mengancam, dan menggunakan jalan peperangan. Dalam hal ini, dia setuju dengan gagasan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) yang mengkampanyekan perlunya menegakkan Khilafah Islamiyah. “saya acungkan jempol dan salut terhadap perjuangan mereka (HTI) yang mempunyai prinsip supaya menegakkan hukum di dunia ini” katanya menegaskan posisinya.

Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh KH Muhsin Noor dari Pesantren al-Muslimun Cianjur. Menurutnya, meski ia setuju dengan ide penegakan syari’at Islam lewat pendirian negara Islam, namun melihat keadaan di Indonesia sepertinya sangat sulit. Hal ini disebabkan oleh pemahaman-pemahaman yang belum tersebar luas di kalangan masyarakat dan umat Islam sendiri belum memiliki kekuasaan yang besar. “Memang menurut saya kalau di Indonesia mungkin sulit. Maka kita mungkin dengan pemahaman-pemahaman yang dapat diterima oleh orang lain, kalau mau begitu bisa saja tetapi sulit, tetapi kalau kekuasan kita misalkan sampai 80%. Tapi sekarang ini sulit, yang belum apa-apa sudah dicurigai yang tida-tidak” katanya menjelaskan.

Dia juga menambahkan, untuk mendirikan negara Islam, sewaktu DII/TII yang dipimpin Kartosoewiryo saja yang lumayan kuat dan didukung beberapa daerah sulit, apalagi untuk zaman sekarang ini. Memang ide negara Islam itu sangat bagus, namun menurutnya kalau mau direalisasikan sulit sekali. Jika umat Islam benar-benar mau merealisasikan hal itu, mestinya sejak dari sekarang dipersiapkan kader-kader yang berideologi Islam dan siap memperjuangkan ide pendirian negara Islam. Begitu juga dengan ide Khilafah Islamiyah dari Hizbut Tahrir Indonesia. Itu bagus namun sulit untuk direalisasikan di Indonesia. Dan itu hanya berkembang di masyarakat kota yang jumlahnya sedikit

Utan Muchtar dari Pesantren Al-Islah Cirebon juga mengungkapkan hal yang senada. Menurutnya, negara Islam itu sah dan boleh-boleh saja didirikan, asalkan sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Semua itu agar keadaan menjadi lebih baik dan Islami. Meski begitu, target utamanya bukan negaranya yang berbentuk Islam, tapi dia menginginkan agar semua negara ini sesuai dengan ajaran Islam. Bertolak dari pendapatnya itu, dia menyatakan setujua dengan konsep NKRI (Negara Kesatuan Republik Indonesia). Terlebih lagi, kemerdekaan di Indonesia itu pada dasarnya yang paling banyak memperjuangkan adalah orang-orang Islam. Jadi, sebetulnya yang memerdekakan bangsa ini adalah para santri.

Dari berbagai pandangan di atas, meski dengan tekanan yang berbeda, sebagian kalangan pesantren menganggap bahwa pendirian negara Islam sebagai unsur penunjang dari penegakan syari’at Islam. Namun, memang ada sebagian yang menganggap bahwa pendirian negara Islam itu bukan merupakan ide yang mendesak. Justru yang harus dilakukan umat Islam sekarang adalah perbaikan SDM dan menyebarkan kesadaran tentang pentingnya menjalankan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari. Dengan begitu, ketika syari’at Islam sudah ditegakkan atau negara Islam sudah terbentuk, umat Islam secara mayoritas sudah berperilaku Islami. Akan tetapi, bagi sebagian kalangan yang lain, penegakan syari’at Islam lewat kekuasaan atau pendirian negara Islam justru merupakan strategi yang tepat agar syari’at Islam lebih diterima secara luas dan mendapat jaminan negara. Keadaan sekarang yang menampakkan bahwa syari’at Islam banyak yang hanya menjadi kewajiban individu, seharusnya harus lebih ditingkatkan lagi pada masa yang akan datang.

Kesimpulan

Sampai sekarang, perbedaan pendapat dan interpretasi terhadap teks syari’ah masih terus berlangsung. Ada kalangan yang menganggap bahwa Syari’ah berlaku terus setiap zaman dan tidak mungkin berubah, namun ada juga anggapan bahwa Syari’ah bersifat lentur pada dimensi ruang, waktu, dan kreativitas akal manusia. Bila kita teliti, sebetulnya perbedaan interpretasi kedua kalangan di atas lebih disebabkan oleh cara melakukan interpretasi teks keagamaan. Pada kalangan konservatif, yang secara kebetulan sebagian besar pimpinan pondok pesantren di Jawa Barat termasuk di dalamnya, syari’at Islam dianggap sebagai teks baku yang tidak bisa diganggu gugat kebenarannya. Teks dipisahkan dari konteks perkembangan ruang dan waktu serta dari kreativitas pemikiran manusia. Sedangkan pada kalangan moderat, teks ditafsirkan dengan juga memperhatikan konteks perkembangan pemikiran, zaman, dan bahasa manusia.

Dari berbagai pendapat soal bagaimana cara menegakkan syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari, tampak bahwa sebagian pimpinan pesantren di Jawa Barat mengingingkan agar syari’at Islam masuk dan menjadi aturan hukum kenegaraan. Dengan posisi seperti itu, syari’at Islam akan lebih dimungkinkan untuk dilaksanakan bagi semua kaum Muslimin di Indonesia. Soalnya, dengan aturan hukum kenegaraan, tekanan dan sanksi dari hukum itu bisa menjadikan manusia patuh dan tidak melakukannya secara seenaknya atau sembarangan. Di sisi lain, dengan tujuan agar syari’at Islam lebih mudah diterima dan tidak menimbulkan kecurigaan umat agama lain apabila diterapkan, sebagian pimpinan pesantren menyarankan agar penegakan syari’at Islam dimulai dari sosialisasi pentingnya pelaksanaan akhlakul karimah sebagai inti syari’at Islam dalam kehidupan sehari-hari. Hal ini juga sebagai langkah strategis yang menyontoh model dakwah Rasulullah yang berhasil mengenalkan Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin. Mereka menganggap, menegakkan syari’at Islam lewat akhlakul karimah, sepertinya lebih mudah diterima masyarakat karena dia mempunyai bahasa universal dan mudah dipahami oleh masyarakat luas.

Untuk soal posisi non-Muslim dalam syari’at Islam, para pimpinan pesantren mengganggap bahwa syari’at Islam akan tetap melindungi posisi non-Muslim. Bahkan, dengan merujuk pada pengalaman Nabi Muhammad ketika di Madinah, justru dengan kepemimpinan Islam para warga non-Muslim lebih terlindungi. Pemahaman seperti ini berimplikasi pada kedudukan non-Muslim dan status kewarganegaraan mereka. Sebagian kalangan pimpinan pesantren beranggapan, warga non Muslim memang seharusnya menjadi warga negara kelas dua dengan kewajiban menaati peraturan yang juga dipakai oleh umat Islam. Sebagian lainnya berpendapat, peraturan syari’at Islam hanya diperuntukkan untuk umat Islam saja, semenatara non- Muslim dibebaskan mengekspresikan keyakinannya, asalkan tidak menimbulkan keributan dan perpecahan.

Dalam soal pentingnya pendirian negara Islam sebagai jaminan utama pelaksanaan syari’at Islam, sebagian kalangan pesantren menganggap hal itu belum perlu dilakukan. Karena, yang lebih penting sekarang ini adalah bagaimana umat Islam mampu dan mau melakukan syari’at Islam dalam kehidupannya sehari-hari. Sehingga, ketika nanti sudah banyak yang memahami dan menjalankan syari’at Islam secara penuh, otomatis negara Islam akan terbentuk dengan sendirinya. Pada sebagian pimpinan lainnya, pendirian negara Islam adalah agenda yang mesti dilakukan. Akan tetapi, caranya adalah mulai merebut kepemimpinan dari tingkat bawah dan kecil menuju tingkat yang lebih tinggi dan luas. Dengan kekuasaanlah, menurut mereka dakwah penegakan syari’at Islam lebih mudah terlaksana dan terkontrol.

Penegakan syari’at Islam lewat aturan hukum ataupun dengan sosialisasi akhlakul karimah sepertinya menjadi agenda yang terus hidup. Terlepas apakah muara dari semua program itu adalah negara Islam atau bukan, yang jelas hampir semua sektor kehidupan publik di Indonesia kini mengalami sentuhan Islamisasi. Sayangnya, semua itu masih bersifat simbolik, ornamental, dan di atas permukaan semata. Perilaku sehari-hari sebagian besar penduduk negeri ini tampaknya masih jauh dari mencerminkan nilai-nilai Islam yang sejati.

Jika kita amati dari berbagai gerakan penegakan syari’at Islam itu, tampaknya ada dua hal penting yang menjadi tawaran mereka. Pertama, “negara syari’at” lahir sebagai tawaran alternatif atas kegagalan sistem sekuler yang telah memperokporandakan nilai dan moralitas. Kedua, “negara syari’at” sebagai resistensi terhadap modernitas yang disimbolkan dengan kapitalisme global. Jika “negara syari’at” diletakkan sebagai gerakan resistensi terhadap modernitas, bisa jadi ia akan mendapatkan dukungan dunia. Karena, saat ini perlawanan terhadap globalisasi dan neoliberalisme hampir menjadi konsen banyak negara di seluruh dunia.

Persoalannya, apakah ia betul-betul diagendakan sebagai resistensi terhadap modernitas, atau hanya sebagai “sasaran antara” guna menutupi agenda sebenarnya untuk menegakkan negara Islam sebenarnya? Jika pilihan yang terakhir itu yang akan diambil, sepertinya ramalan Ahmad Syafii Maarif bahwa gerakan pro-negara syari’at dan syari’at Islam akan menerima “piala kekalahan” betul-betul akan terjadi. Soalnya, saat ini bangsa-bangsa di dunia sedang gencar mengkampanyekan tentang demokrasi dan negara kebangsaan yang menjamin adanya kebebasan dan kesamaan di depan hukum, jadi tidak ada lagi pengkelasan warga berdasar agama atau rasnya berasal.

Share this article :
 

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda!!!

 
Copyright © 2008. Blog Elharawy
Template by Creating Website