Pluralisme dalam Islam

Paham pluralisme agama sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter dan kejam, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan dalih menerima kebenaran semua agama-agama itu

Dari segi antropologis, agama dapat ditelusuri dalam tiga aspek : (1) Ketuhanan, (2) Ritual, dan (3) Sosial. Aspek pertama merupakan ranah (domain) teologis yang membicarakan konsep-konsep keTuhanan, termasuk sifat-sifat Tuhan itu, sedang aspek kedua merupakan ranah bagaimana seseorang itu beribadah, mensucikan Tuhannya termasuk tata-cara penyembahan (ritual) dalam memuliakan Tuhan itu. 

Sebab itu pada aspek pertama dan kedua unsur-unsur sakralitas sangat kuat dan peka, dan tidak mugkin dikompromikan dengan agama lain (non-negotiable matters). Aspek sakralitas yang pertama dan kedua ini, penuh dengan aura dan nuansa kesucian, dan mistifikasi simbolik, tidak hanya terkait dengan pemikiran dan doktrin teologis. Tetapi juga segala sesuatu yang berhubungan dengan aspek-aspek pemuliaan dan pensucian tuhan, seperti rumah ibadat, perlengkapannya, simbol-simbol material dan non-material. 

Dapat dimaklumi apabila segala sesuatu yang terkait dengan kedua aspek ini, sangat sensitif dan rawan untuk dibicarakan, diperdebatkan atau dinegosiasikan, terutama oleh kelompok agama lain. Perpecahan atau konflik sering sekali muncul dari ranah ini, baik konflik intrenal (pertikaian antar mazhab/aliran), maupun eksternal (dengan kelompok agama lain).

Tetapi pada aspek ketiga (sosial), keadaannya sangat terbuka. Aspek ketiga ini merupakan ranah (domain) yang memungkinkan kerjasama satu agama dengan penganut agama lain. Bahkan dalam Islam kerjasama antar umat beragama dalam bidang sosial, merupakan suatu keniscayaan. Dalam salah satu hadis Nabi Muhammad Saw. dinyatakan bahwa seseorang itu tidak beriman apabila dia tertidur lelap, sedang tetangganya mengerang kelaparan. 

Tidak peduli apakah tetangganya itu beragama Islam, Kristen atau Yahudi. Demikianlah dalam teologi Islam, dibedakan antara hubungan manusia dengan Tuhan (hablum-minallah), yang berada pada ranah satu dan dua, dan hubungan antara manusia dengan manusia (hablum-minannas) yaitu yang berada pada ranah yang ketiga (sosial).

Dalam sejarah, konflik umat Islam dengan non Islam selalu terjadi karena provokasi atau hujatan orang lain terhadap ranah kesatu dan kedua (umpamanya cacian terhadap Tuhan, Nabi, Alquran, shalat, masjid dan lambang-lambang agama) dan bukan dalam ranah ketiga bidang sosial. Dalam usaha mengembangkan ranah sosial atau kerjasama antar umat beragama, sangat diperlukan kearifan para tokoh-tokoh agama, agar sejauh mungkin menghindari persinggungan atau gesekan yang akan terkait dengan ranah pertama dan kedua yang peka itu, baik langsung atau tidak langsung. 

Saya pernah diundang untuk berbicara dalam suatu pertemuan yang sengaja digelar oleh kelompok gereja Katolik Jerman untuk memecahkan masalah penolakan masyarakat Aceh terhadap bantuan dari mereka pada masa tsunami yang lalu (2005). Bantuan itu seyogianya tidak mendatangkan penolakan dan masalah agama dari masyarakat Aceh yang waktu itu memang sangat memerlukannya. Dan kita tahu banyak kelompok dari berbagai badan dan lembaga sosial internasional yang terjun langsung ke Aceh dan mereka sedikit sekali terkendala dalam penyaluran dana atau bantuan material seperti obat-obatan, bahan makanan, pakaian atau perlengkapan lain yang sangat diperlukan waktu itu. 

Setelah terjadi dialog dan penelusuran masalah, ternyata bahan makanan dan obat-obatan yang dibawa dan diberikan kepada masyarakat Aceh itu, diberi lambang gereja Katolik (antara lain gambar gereja dan palang salib). Dalam forum diskusi itu saya mengusulkan agar kemasan bantuan Fondasi Carita Katolik itu dijauhkan dari segala sesuatu yang terkait dengan ranah pertama dan kedua tadi. Termasuk lambang-lambang yang melekat pada atap-kemah yang akan didistribusikan kepada masyarakat Aceh. 

Saya maju dengan usul yang lebih konkrit agar label kemasan itu semua diganti dengan kalimat : ‘Bantuan Rakyat Jerman,’ dan kalau mungkin ditempelkan bendera Jerman. Jadi walaupun kegiatan sosial yang merupakan ranah ketiga ini menjadi kewajiban bagi masing-masing agama. Tetapi sesuatu yang harus diingat agar dalam implimentasinya, bantuan sosial itu tetap ‘netral’ atau terlepas dari aspek-aspek propaganda atau yang dapat di curigai sebagai perluasan budaya agama tertentu. Karena hal itu dapat mencederai aspek pertama dan kedua yang sangat sensitif, yaitu aspek sakralitas dan ritual agama Islam.

Aspek sosial sebagai wadah pluralitas agama
Dari konstelasi pemikiran diatas adalah mustahil untuk mendudukan pengertian pluralitas agama seperti yang dirumuskan umpamanya oleh John Hick (2002), bahwa perbedaan agama itu hanyalah merupakan perbedaan persepsi dan konsepsi serta respon yang berbeda terhadap yang maha kuasa dan realitas yang satu (Tuhan). Karena itu, menurut John Hick semua agama pada hakekatnya adalah sama. 

Paham ini seperti juga ditegaskan oleh Thoha (2009) mengakibatkan terjadinya terminasi dalam agama, pengebirian pengertian agama dan penghilangan peran agama-agama yang secara otomatis akan digantikan oleh sebuah agama baru yang bernama ‘pluralisme agama,’ (agama gado-gado) yang pada akhirnya akan menghapuskan agama itu sendiri. Paham pluralisme agama seperti itu sebenarnya sangat tidak toleran, otoriter dan kejam, karena menafikan kebenaran semua agama, meskipun dengan dalih menerima kebenaran semua agama-agama itu. 

Dalam teologi Islam umpamanya, pengakuan akan siapa Tuhan yang sebenarnya menciptakannya (Allah), dan siapa orang yang layak dirujuk ajarannya (Muhammad Saw) merupakan pengakuan yang paling asasi dalam kehidupan seorang Muslim. Dan konsep yang sangat eksklusif itu dibangun di atas syahadat (pengakuan) sebagai seorang Islam. 

Islam menempatkan pluralisme agama dalam aspek sosial agama (hablulminannas). Secara fungsional kedudukan manusia dalam aspek sosial ini, menurut Islam sangat penting. Islam secara teguh menyatakan bahwa manusia yang mulia disisi Tuhannya adalah manusia yang berguna untuk sesamanya. Dalam ranah sosial agama ini tidak hanya dapat dipergunakan sebagai arena komunikasi dan kegiatan antar warga komunitas yang berbeda agama. Tetapi juga aspek ini dapat dipergunakan oleh umat Islam yang corak keberagamaannya sangat pluralitas. Seperti tampak pada banyaknya aliran keagamaan (mazhab), corak budaya-agama, organisasi Islam dan partai politik Islam. 

Tetapi dari wilayah ‘aspek sosial’ inilah akan mekar ‘civil society,’ dimana setiap warga dari berbagai agama dan aliran agama bebas berkembang. Sebagai pendukung ‘civil society’ setiap warga harus menerima bahwa semua agama yang telah diakui negara, secara konstitusional baik dan benar, walaupun secara pribadi dan individual dia berkeyakinan bahwa agamanyalah bagi dia yang paling benar dan sesuai. Kercuali agama atau aliran kepercayaan yang bersikap sektarian, tertutup dan diskriminatip serta melanggar prinsip-prinsip kebangsaan, maka negara berkewajiban menghakimi agama atau aliran kepercayaan itu. 

Dengan demikian maka pluralisme memiliki tiga inti pandangan hidup: (1) kebebasan beragama, berkepercayaan, dan menjalankan ibadah bagi setiap warga, (2) keadilalan bagi setiap agama dan aliran kepercayaan, sepanjang tidak melanggar konstitusi, hukum dan kesepakatan sosial dan norma-norma moral dan kesusilaan , dan (3) rasa hormat dan toleran (menjauhi konflik) dalam menghargai kemajemukan. 

Dari uraian diatas dapat dilhat, kendatipun kehidupan pluralitas agama itu berlangsung dalam ranah sosial agama-agama, pemerintah sebagai manager masyarakat tidak harus absen. Pemerintah, seperti ditugaskan oleh konstitusi kita harus melindungi agama yang telah akui, tetapi tidak boleh bertindak merepresentasikan agama tertentu. Sebab itu, pemerintah harus aktif dan antisipatif terhadap semua kemungkinan gangguan yang dapat menimbulkan ketidakharmonisan, apalagi konflik terbuka. 

Sangat disayangkan bahwa dalam banyak fakta pada setiap kerusuhan, pemerintah selalu ‘kecolongan,’ karena kurang antisipatif terhadap perkembangan kehidupan antar umat beragama dalam masyarakat pluralistis. Dalam banyak kasus sewasa ini terkesan malah pemerintah melakukan ‘pembiaran’ sampai masalah itu meluncur menjadi konflik terbuka. Sikap antisipatif tidak hanya penting untuk aparat keamanan dan pejabat pemerintah, tetapi juga untuk para tokoh-tokoh masyarakat, terutama tokoh-tokoh generasi mudanya seperti dari PII, HMI GMKI atau PMKRI. 

Sistem Kehidupan Masyarakat Pluralis
Seperti diketahui kehidupan pluralis telah dikenal dalam sejarah Islam sejak Nabi Muhammad membangun kota Madinah (berasal dari kampung Yatsrib), hampir lima belas abad yang lalu. Kota baru ini dihuni oleh berbagai bangsa dan kelompok etnis. Orang Arab yang telah beragama Islam terdiri dari dua kelompok (Ansor dan Muhajirin), Arab yang non-Islam (terdiri dari kelompok etnik Aus, dan Khasraj), sedang dari kelompok Jahudi, Bani Nadir dan Quaraizhah. 

Piagam kebersamaan hidup mereka di kota Madinah itu, bersifat demokratis dan terbuka, kemudian dikenal sebagai Konstitusi Madinah. Nabi Muhammad Saw. dengan persetujuan semua pihak selalu memperbaharui piagam tersebut seiring dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat majemuk itu. Setiap Kepala Suku (bani) Arab dan kelompok Yahudi menandatangani piagam itu. Selain peraturan kehidupan bersama dalam memamfaat berbagai sumber dan falisitas kota yang ada, dalam piagam ini juga ditetapkan kewajiban setiap warga wajib membela kota Madinah, dan menanggung biaya untuk mempertahankan kota itu apabila terjadi peperangan. 

Siapa saja yang melanggar peraturan, termasuk umat Islam akan ditindak sesuai dengan kesalahannya. Seperti Bani Nadhir, karena berkhianat diusir dari kota Madinah. Madinah merupakan masyarakat civil (civil society) pertama di dunia. Sebab itu, civil society (masyarakat warga) itu disebut juga sebagai Masyarakat Madani. Masyarakat Madani dalam tipologi kota Madinah ini merupakan cikal bakal dari masyarakat madani umat Islam dewasa ini. Oleh karena itu, dalam merujuk kerukunan agama dalam masyarakat pluralistis umat Islam selalu mengacu kepada pola masyarakat pluralistis kota Madinah. 

Pluralisme dalam Alquran
Alquran mengandung banyak bagian yang memuat dan mendukung pendekatan pluralistik terhadap keanekaan agama dalam masyarakat. Dalam bidang akidah Alquran memberi petunjuk kepada umat Islam apa yang harus dinyatakan kepada kaum Nasrani dan Yahudi : ‘ Kami mempercayai apa-apa yang diturunkan kepada kami, dan kami percaya kepada apa-apa yang diturunkan kepadamu. Tuhan kami dan Tuhan kamu adalah tunggal, dan kepadaNya kita berserah diri’ (Alquran 28:46). Dalam kaitan kebersamaan itu juga Alquran mengingatkan bahwa Tuhan dengan sengaja menciptakan umat manusia dalam beraneka agama, bangsa, ras, suku agar dengan demikian mereka saling mengenal antar satu sama lain (Alquran 49:13) dan agar mereka berlomba satu sama lain (Alquran 2:148).

Ayat-ayat itu menurut sahabat saya Syafii Maarif, menggalakkan manusia untuk belajar menangani perbedaan-perbedaan mereka dengan cara damai. Manusia adalah makhluk Tuhan yang paling mulia di muka bumi. Tuhan menyandangkan kemuliaan dan martabat itu atas seluruh manusia. Terbukti dari sebutan pertama kepada manusia sebagai ‘anak-anak Adam’ (Alquran 17:70) dan yang kedua secara potensial adalah ‘deputi’ (khalifah) Tuhan (Alquran 2:30). Karena itu dikatakan bahwa :’Setiap manusia telah dilimpahi martabat oleh Tuhan’ (Alquran 7:172-173). Alquran melarang penindasan yang bersifat agama dalam bentuk apapun : ‘Tidak ada paksaan dalam agama’ (Alquran 2:256).
Bahwa memang ada pernyataan-pernyataan negatip dalam Alquran tentang orang Kristen dan Yahudi. Menurut Dr.Erdal Toprakyaran, seorang intelektual Muslim terkemuka di Jerman, kalau diteliti secara arif, pernyataan-pernyataan negatif dalam Alquran itu sengaja diturunkan Tuhan di saat-saat permusuhan antara orang Islam dan Kristen atau Yahudi dan karenanya tidak berlaku di waktu damai. Pernyataan Dr. Torakyaran ini perlu digarisbawahi, karena dia telah memberikan latar sejarah (kontektualitas-asbanunnuzul) terhadap ayat-ayat tertentu yang diturunkan. 

Memang dalam berbagai kesempatan ada sementara para ulama Islam, apakah disengaja atau tidak, lebih mendahulukan ayat-ayat Tuhan dengan latar ketika umat Islam sedang dalam menghadapi permusuhan dengan agama lain dari pada perdamaian. Atau sengaja menafsirkan teks-teks ke-Islaman dan ayat-ayat Alquran yang disesuaikan dengan kebutuhan politik untuk meraih kekuasaan kelompok tertentu. Wajar saja ayat-ayat seperti itu lebih banyak akan membakar dari pada menyejukkan suasana kehidupan antar agama yang sangat pluralistis di tanah air kita. Seharusnya para ulama, pendeta dan pastur dewasa ini, lebih banyak membawa air dari pada premium!? Wallahualamwisawab.  

Oleh: Prof. Usman Pelly, PhD : Penulis adalah Antropolog Unimed 
Sumber: http://www.waspadamedan.com
Share this article :
 

Posting Komentar

silahkan tulis komentar anda!!!

 
Copyright © 2008. Blog Elharawy
Template by Creating Website